Tuesday, July 15, 2014

Keutuhan dalam Rangkulan

Rengkuh aku dalam dekapmu
Biarkanku meleleh dan menyatu
bagai air soda yang melebur bersama es batu
Tak lagi kurasakan desaknya waktu
tak lagi kupikirkan masalah masa lalu
Lengan kita berpaut dan bersatu

Suara degup jantung kita seirama
berpacu dalam ketukan yang sama
Seolah saling bersahutan jenaka
detak kita senada
Pelukmu penyembuh segala luka
obat paling sederhana

Setiap detik tak lagi berlari
Waktu membeku menjadi abadi
waktu berhenti hanya bagi kami

Dua manusia terbungkus sepasang lengan
Dua manusia yang saling mengutuhkan

Tuesday, July 1, 2014

Rangkaian Kata-kata Gadis Remaja #1: Ingin Merasa

            Sudah lama perasaan ini pergi. Entah kapan terakhir kali aku se-galau ini. Tapi cukup dengan satu pembicaraan, rasa ini terkuak lagi. Bagai bangkai tersembunyi, menyengat, membuat mual.
            Yang Sedang Jatuh Hati bercerita padaku, tentang wanita yang ia sayang untuk saat ini. Betapa ia telah di panah Cupid tepat di hati. Ia bercerita tentang percakapan konyol mereka, tentang lagu yang mengingatkannya akan sang wanita, tentang gelang pemberiannya. Wajah Yang Sedang Jatuh Hati berseri-seri tanpa ia ketahui. Matanya nyala bagai tungku api. Di setiap kalimat dan sela-sela nafasnya, ada cinta tersembunyi. ‘Ia telah jatuh hati’, pikirku.
            Aku hanya merespon dengan anggukan kecil dan senyuman yang tak absen menghiasi muka. Apa lagi yang perlu ku beri? Mereka punya segalanya. Dunia Yang Sedang Jatuh Hati berputar dan berporos pada matahari barunya, si wanita.
            Satu-satunya yang bisa kukatakan hanya: ‘Pelan-pelan saja, buru-buru itu tak berguna’. Klise, memang. Apa lagi yang perlu terucap? Setiap sentuhan mereka bergetar hingga ke bilik jantung, membuat darah berdesir ekstra cepat. Tatapan mata mereka menyedot ruang dan waktu, hingga yang tersisa hanyalah keabadian mereka berdua di dunia yang serba fana.
            Sungguh, aku bahagia untuk ia Yang Sedang Jatuh Hati. Untuk lelaki yang kukenal semenjak nafas memenuhi rongga paru-paruku. Kita berasal dari satu rahim yang sama, meminum air susu wanita yang kita sebut Ibu, aku mengenal lelaki itu seperti aku mengenal diriku sendiri. Aku senang apabila ia tertawa, aku sedih apabila ia merana.
            Namun kini, dunia kita berbeda. Dia ada jauh di atas awan-awan, sedangkan kakiku berpijak teguh pada daratan. Di dunianya hanya ada dia dan si wanita, mereka berdua dipenuhi cinta. Dan aku tidak akan bisa masuk ke dunia mereka. Syarat utamanya adalah: harus dimabuk asmara, dan syarat itu menjadi jarak yang tak bisa aku jembatani dengan apapun.
            Lalu Yang Sedang Jatuh Hati bercerita tentang seseorang yang sedang dilanda badai kesedihan, yang sedang dihujani kegalauan. Aku menyebutnya Yang Sedang Patah Hati. Ia lelaki, tentunya, dengan luka lama yang tak kunjung kering. Luka lama yang terus mengeluarkan darah segar, walau entah berapa kali ia perban dan obati.
            Berbeda dengan Yang Sedang Jatuh Hati, Yang Sedang Patah Hati justru sedang berusaha melupakan cintanya yang lepas dari genggaman, ia sedang berusaha menjadi sedingin es di kutub utara agar tak meleleh jika dibakar api dari masa lalu, neraka nostalgia. Yang Sedang Patah Hati bercerita bahwa kepahitan, kesedihan, dan kebencian yang selama ini mengalir deras, akhirnya berhasil menjebolkan bendungannya dengan arus dahsyat. Dan itu semua berkat sebuah percakapan dengan si wanita yang dulu (dan mungkin hingga sekarang) ia puja.
            Dadaku sesak saat mendengar cerita itu. Aku ikut sedih serasa mengalami apa yang sedang ia lalui. Aku tahu susahnya melepaskan diri dari masa lalu, dan aku tahu pedihnya membuang muka pada wajah lama.
            Terus-menerus aku menyuruh Yang Sedang Jatuh Hati untuk menghiburnya. ‘Apakah yang kau tenggak, hai Yang Sedang Jatuh Hati? Biarkan ia rasa apa yang kau rasa, agar ia mabuk asmara. Walau hanya setetes saja’.
            Yang Sedang Jatuh Hati lanjut bercerita, sepertinya Yang Sedang Patah Hati sudah lelah kejar-kejaran dengan masa lalunya. Kemanapun ia bersembunyi, wajah wanita itu senantiasa menghantui. Seberapa kerasnya ia berusaha benci, tetap hatinya tak bisa dibohongi. Ada rasa cinta yang tersisa, walau hanya sebesar bulir beras, rasa itu masih ada. Dan mungkin Yang Sedang Patah Hati masih belum benar-benar bisa melepas mataharinya, langitnya sudah gelap untuk terlalu lama. Mungkin dulu ia berusaha menerima kenyataan bahwa mataharinya sudah menemukan langit baru untuk diterangi. Tapi mungkin secara diam-diam, selama ini... Yang Sedang Patah Hati hanya ingin mataharinya kembali.
            Tentu analisa-analisa kecilku tak kuberitahu kepada Yang Sedang Jatuh Hati. Mana mau ia mendengar celotehan gadis remaja yang belum pernah merasakan cinta sesungguhnya?
            Tak lama setelah itu, Yang Sedang Jatuh Hati kembali terbang ke awan-awan, meninggalkanku sendirian dengan pikiran-pikiran yang menjejali otak. Pikiran-pikiran yang menjadi alasan utama tulisan ini terbuat.
            Aku iri. Iri sekali pada para lelaki itu, yang sedang jatuh hati dan yang sedang patah hati. Setidaknya hidup mereka ada warnanya, penuh sedih dan tawa, benci dan cinta. Sedangkan aku? Kisah cintaku bahkan tak akan laku jika diadaptasi menjadi serial FTV. Ibarat naik tangga, cintaku sudah di anak tangga tertinggi paling atas, sudah tidak dapat kemana-mana lagi. Mentok. Terlalu klise, pasti.
            Aku iri pada mereka yang bebas jatuh hati dan patah hati. Pada mereka yang mencinta, pada mereka yang membenci. Setidaknya mereka mempunyai persaan yang ingin mereka simpan atau mereka buang. Perasaanku telah terkunci, dan kuncinya kuhilangkan sendiri.
            Bukannya tidak mau merasa, justru aku ingin merasa! Sesungguhnya aku dan mereka tak jauh beda, sama-sama manusia yang tinggal di dunia. Tapi apa yang membuatku tak layak mempuyai seseorang untuk berbagi? Atau seseorang untuk kutangisi?
            Aku iri, mereka mempunyai sesuatu untuk mereka dekap, sesuatu yang menjadikan alasan mereka untuk terus maju, sesuatu yang dapat membuat mereka berseri maupun meringis menahan pedih.
            Aku sudah lupa rasanya bahagia ataupun sedih karena seseorang maupun sesuatu. Aku lupa rasanya berharap terlalu tinggi, lalu sakit hati. Aku lupa rasanya sentuhan pertama dengan orang yang kita sayang, mengagetkan namun memberi arus kehidupan. Aku lupa rasanya tersungkur menahan pilu hanya karena teringat kenangan masa lalu. Aku lupa rasanya mati-matian melupakan seseorang. Aku lupa rasanya saat bibir-bibir berpautan, menyuntikan racun mematikan namun membuat ketagihan. Aku lupa rasanya patah hati. Aku lupa rasanya jatuh hati.
            Dan percayalah, aku turut senang untukmu, Yang Sedang Jatuh Hati. Semoga kamu dann pujaanmu dapat bersatu. Dan semoga dunia kita menjadi sama. Juga aku bersedih untukmu, Yang Sedang Patah Hati. Semoga kenyataan dan keinginanmu melebur menjadi satu. Entah itu melupakan atau justru saling berdekapan. Semoga kau tidak trauma jatuh hati, dan semoga kau belajar untuk memulai dari awal lagi.
            Berikan padaku apa yang kau minum hai Yang Sedang Jatuh Hati, dan berikan padaku sedikit pecahan hatimu hai Yang Sedang Patah Hati. Agar aku kembali hidup. Agar aku kembali merasa. 
            Tunggu aku di awan-awan, temui aku di dasar jurang. Akan kurakit sayap baruku. Agar aku kembali terbang.